Gali Pemikiran Bung Karno melalui Bedah Pidato TAKARI

 
Perpustakaan Bung Karno menyelenggarakan (19/8) Bedah Pidato Bung Karno berjudul “Tahun Berdikari (TAKARI): Capailah Bintang-Bintang di Langit” di Amfiteater. Diikuti 100 peserta yang mayoritas merupakan generasi muda, kegiatan ini adalah upaya untuk melestarikan pemikiran Bung Karno. TAKARI merupakan judul pidato Bung Karno yang disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1965. Beliau menyampaikan perjalanan bangsa dan negara Indonesia selama 20 tahun sejak proklamasi kemerdekaan, perjalanan panjang dengan segala peristiwa sejarah yang menorehkan pengalaman luar biasa bagi bangsa Indonesia. Kepala Perpustakaan Bung Karno, Janti Suksmarini berharap kepada peserta agar dapat memperdalam pemahaman perihal isi pemikiran Bung Karno melalui pidatonya. “Bedah Pidato Tahun Berdikari ini diselenggarakan dalam rangka memperingati HUT ke 75 kemerdekaan Indonesia dengan mengundang narasumber yang memahami pemikiran Bung Karno, diharapkan dapat menggali isi yang terkandung dalam pidato. Bertujuan memberikan semangat patriotisme, nasionalisme, dan semangat persatuan kepada generasi muda,” jelas Janti Suksmarini.
 
Gayung bersambut, Wali Kota Blitar Drs. Santoso, M.Pd mengapresiasi kegiatan Bedah Pidato ini dan berencana menggali lagi pidato-pidato lain. “Diawali dengan bedah pidato ini mudah-mudahan orasi-orasi, pidato-pidato tentang Bung Karno ini bisa kita bangkitkan kembali. Mari terus tingkatkan pendalaman kita tentang pemikiran beliau,” harap Santoso dalam sambutannya. Dua narasumber dihadirkan untuk membedah pidato, beliau adalah M. Taufik (Widyaiswara Ahli Utama BPSDM Provinsi Jawa Timur) dan Bambang Gunawan (Pemerhati Ajaran Bung Karno), serta dimoderatori oleh Novi Catur Muspita. Soal investasi cukup intens dibahas dalam materi, karena menyangkut kepentingan masyarakat luas. Bukan hanya sekedar untung rugi. “Bung Karno pada saat itu bukan tidak sadar mengenai pentingnya investasi untuk kehidupan bangsa, namun lebih sadar lagi bahwa di balik itu ada tendensi untuk menguasai Indonesia, dan itu Bung Karno tidak mau. Lebih baik makan gaplek tetapi bangsa ini merdeka, daripada makan keju tapi berada ketiaknya penjajah,” ungkap M. Taufik.